header_ads

Produksi Tempe Berkurang

Tempe, makanan asli Indonesia yang sudah dikenal masyarakat sejak berabad-abad silam terbukti dapat sebagai obat, yakni antara lain bersifat antibiotik terhadap kuman yang umum menyebabkan diare.
Sebagai makanan, tempe mengandung prebiotik yang bermanfaat untuk keseimbangan flora normal usus dan memperbaiki penyerapan air dan elektrolit serta tidak bersifat ’iritabel’ terhadap usus. Sebagai zat gizi, tempe memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dibanding bahan bakunya. Tempe sangat mudah dicerna, sehingga baik untuk orang yang terkena gangguan pencernaan seperti diare. Proses pembuatan tempe juga akan menghambat bahkan menghentikan aktivitas zat antigizi.
Pemberian tempe pada penderita diare memerlukan strategi tersendiri mengingat penderita diare umumnya mengalami penurunan nafsu makan dan mual serta tidak jarang disertai muntah. Terlebih pada anak-anak, pemberian asupan makanan seringkali menjadi masalah yang memperburuk penyakit.
Pada keadaan seperti itu, makanan akan lebih mudah diterima dalam bentuk cairan. Selain itu, bentuk susu bubuk memiliki keunggulan dalam hal masa penyimpanan yang lebih lama, sehingga akan lebih mudah disimpan dan didistribusikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mira Dewi, Faisal Anwar, Ali Komsan, dan Dadang Sukandar dari Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang pengembangan produk tempe dalam bentuk susu bubuk menunjukkan bahwa pemberian tempe dalam bentuk susu (bubuk) dapat diterima dengan cukup baik oleh penderita.
Penelitian ini berhasil memformulasi pembuatan produk bubuk susu tempe berikut dengan analisis sifat kimia dan fisik produk, uji daya terima produk, serta uji klinis produk pada kasus diare pada sampel anak usia 2 – 5 tahun.
Teknologi pengolahan memiliki peranan besar dalam menghasilkan produk minuman fungsional berbasis tempe ini. Agar rasa dan aromanya bisa diterima oleh penderita diare, maka selain tersusun dari tepung tempe, dalam proses pengolahannya ditambahkan bahan-bahan diantaranya susu instan full cream, garam, sukralosa, serta flavor, mocca misalnya.
Untuk melihat dosis bubuk tempe yang dapat diterima oleh konsumen digunakan dosis 12,5 gram dan 25 gram dan dosis susu instant digunakan konsentrasi 0, 2,5 dan 4 gram untuk setiap 25 gram dan 12,5 gram bubuk tempe. Dari perbandingan hasil uji sifat kimia, fisik dan organoleptik diketahui bahwa waktu fermentasi optimal untuk mendapatkan mutu dan penerimaan terbaik adalah lama fermentasi 36 jam.
Uji klinis mengenai manfaat produk ini untuk membantu penyambuhan diare pada anak-anak penting dilakukan, mengingat tempe mengalami berbagai tahapan proses dalam pengolahannya menjadi susu bubuk, yang bisa jadi berpengaruh terhadap manfaatnya dari segi klinis.
Hasil intervensi tempe atau produk susu tempe selama dua hari yang dilakukan tim peneliti pada anak penderita diare akut secara nyata mempercepat penurunan frekuensi diare yang dianalisis berdasarkan perkembangan klinis selama 5 hari.
Hasil penelitian ini mempunyai arti penting dalam mewujudkan diversifikasi olahan produk tempe, yang tidak hanya bergizi tinggi tetapi juga mempunyai khasiat obat. (yopi/B)
Produksi Berkurang

Sejumlah pabrik tahu tempe di Bogor, Senin mulai mengurangi produksinya atau berhenti berproduksi, menyusul tingginya harga kacang kedelai yang merupakan bahan utama makanan tersebut.
Berdasarkan pengamatan, sejumlah pabrik tahu tempe di Bogor ada yang mengurangi produksinya karena mahalnya harga kedelai, dan ada yang mogok produksi sebagai bentuk solidaritas terhadap nasib perajin tempe lainnya di Jabodetabek yang berunjukrasa untuk menggugah perhatian pemerintah.
Namun, ada juga pabrik tahu tempe yang tidak produksi karena memang sudah bangkrut.
Pemilik pabrik tempe di Kelurahan Tegallega, Bogor Tengah Kota Bogor, Musa, mengeluhkan mahalnya harga kedelai yang melonjak tinggi sejak November lalu.
Saat ini harga kedelai Rp8.000 per kilogram. Padahal, sebelum naiknya harga kedelai hanya Rp3.500 per kilogram, katanya.
Untuk menaikkan harga jual tempe atau tahu, menurut dia, tidak bisa begitu saja karena banyaknya pabrik tahu tempe di Bogor, sehingga harga tahu tempe di pasar sangat kompetitif.
Namun, tinggi harga kedelai sampai lebih dari 100 persen, membuat perajin tahu tempe merugi.
Cara menghindari kerugian yang bisa dilakukan, adalah dengan mengecilkan ukuran tempe. Tapi, karena harga kedelainya sangat tinggi, keuntungan yang kami peroleh tetap berkurang kata pemilik pabrik tempe yang setiap hari mengolah 200 kg kedelai itu.
Ia tidak bersedia menyebut, berapa keuntungan yang diperoleh dan berapa pengurangan keuntungan setelah naiknya harga kedelai, dengan alasan, menjadi rahasia perusahaan.
Saya tidak bisa menceritakan keuntungan, tapi kalau kondisinya seperti ini terus, saya bisa bangkrut, kata pemasok tempe di Pasar Bogor ini. Saat ini, Musa mempekerjakan tiga orang kerabatnya di pabrik tempe berukuran tujuh kali lima meter itu.
Sopir pengantar tempe di pabrik tempe milik Musa, Jono menuturkan, ia sudah lama bekerja di pabrik itu, sejak masih dikelola almarhum orang tuanya.
Menurut dia, dulunya pabrik itu memproduksi tempe sebanyak 400 kg per hari dan sekarang turun menjadi 200 kg per hari. Ia mengantar tempe ke Pasar Bogor, mulai pukul 01.30 dinihari hingga pagi.
Dari pabrik ini bisa mengantar dua hingga empat kali kepada para pedagang sayur di pasar. Setiap kali mengantar satu bak mobil pick-up, katanya.
Dia menambahkan, pabrik tempe milik orang tua Musa yang didirikan sejak 1945 adalah pabrik tempe pertama di Bogor. Saat ini, sudah banyak pabrik tempe di Bogor.
Akibat mahalnya harga kedelai, sudah dua pabrik tempe di Kelurahan Tegallega ini yang bangkrut dan pemiliknya sudah pulang ke kampungnya di Jawa Tengah, kata dia.
Menanggapi masalah kedelai, Ketua Komisi B DPRD Kota Bogor, Nana Juhana Enung mengatakan pihaknya akan mengundang pejabat Disperindagkop untuk meminta penjelasan. (ant/sal/als)


sumber: Poskota, Pelita 15/12/2010

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.