Batu Kuya Saksi Peradaban Pun Raib
Batu Kuya adalah batu yang memiliki bentuk mirip kura-kura. Beratnya diperkirakan mencapai 50 ton dengan panjang 8 meter, lebar 3 meter dan tinggi kira-kira empat meter.Artefak purbakala Batu Kuya yang diduga peninggalan abad IV itu berasal di lokasi Kampung Cinyusuh Desa Cileuksa Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.
Dari konteks sejarah, Profesor Uka Tjandrasasmita melihat kawasan hutan lindung di barat Kabupaten Bogor itu masih bertebaran situs-situs sejarah peninggalan Kerajaan Tarumanegara pimpinan Raja Purnawarman.
Kerajaan Tarumanegara adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia dan terkuat di Jawa Barat serta berkembang sekitar abad V Masehi. "Jumlah situs di sana masih sangat banyak dan belum semuanya teridentifikasi,” ujarnya.
Uka mengatakan, binatang kura-kura bagi Raja Purnawarman merupakan binatang suci. Atau bisa juga merupakan jelmaan dari Dewa Wishnu. “Dewa Wishnu adalah dewa tertinggi yang disembah Purnawarman. Purnawarman sendiri adalah penganut Hindu Wishnu.
Dia memerintahkan masyarakat menyembah Dewa Wishnu. Jadi, bisa dipastikan bahwa Batu Kuya itu peninggalan Kerajaan Tarumanegara,” beber pria yang pernah menjabat Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1980 ini.
Kalaupun bukan berasal dari zaman kerajaan Tarumanegara, Uka menilai Batu Kuya itu pasti memiliki sejarah. “Bisa saja batu itu berasal dari zaman Megalitikum (zaman batu besar-satu fase zaman pra sejarah, red), karena bentuknya sangat halus. Saya tidak yakin jika batu itu dibentuk alam. Itu pasti diukir manusia,’’ tegasnya.
Untuk itu, Uka meminta aparat kepolisian mengusut siapa penjual yang sudah menginjak-injak sejarah sendiri demi uang. Oknum penjual pun bisa terjerat UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Menurut UU No. 2 tahun 1995 tentang Benda Cagar Budaya sebagai berikut: "Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan."
DEMI MILYARAN RUPIAH
Akhir September 2008, Batu Kuya mulai merayap naik kebantaran sungai Cimangenteung di Kampung Cisuruh. Selanjutnya, Batu Kuya memasuki hutan penelitian Haurbentes membabat 18 pohon berdiameter 30 - 70 sentimeter dengan tinggi 15 - 20 meter.
Pohon yang ditebang terdiri dari jenis kisirem, perikopsis, puspa, anakan pinanga, selanica, mecissapterix, pinanga, dan taritih. Setelah Batu Kuya sampai di jalan raya Jasinga, lantas merayap ke arah lingkar luar Kota Bogor, masuk tol Jagorawi ke arah Cilincing, Jakarta Utara.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor yang menerima laporan masyarakat yang menyaksikan pengangkutan Batu Kuya, segera melakukan penyecekan ke Kampung Cisusuh pada 25 September 2008.
Laporan tersebut datang terlambat, trailer beserta Batu Kuya sudah tak ada di tempat. Petugas Bea Cukai Tanjung Priok menemukan Batu Kuya bersembunyi di gudang penyimpanan CV Karya Budi Mulia, Tanjung Priok.
Pada 4 Desember 2008, Batu Kuya disimpan di tempat penampungan sementara milik PT Multi Alam Sejahtera di Pelabuhan Tanjung Priok. Tanggal 10 Maret 2009, Batu Kuya lepas dari Tanjung Priok Jakarta berenang menuju Korea Selatan.
Menurut peradaban tua Cina, Batu Kuya ini termasuk suiseki. Suiseki secara literal berarti batu di air, merupakan seni menikmati batu alam yang mempunyai bentuk-bentuk unik seperti halnya tanaman bonsai. Karena seni sebagai wilayah selera, nilai batu pun sangat subyektif. Konon, Batu Kuya ini berharga antara 3 - 4 milyar rupiah. (als)
Sumber: rumahsantri.multiply.com
Sayang sekali Situs-situs peninggalan kerajaan tarumanagara diambil begitu saja. padahal dibogor mau membangun gedung/musium peninggalan bersejarah. kuring urang dayeuh bogor mangnyaahken.
BalasHapus