Cap Go Meh 2562
Puncak perayaan Tahun Baru Imlek yang lebih dikenal Cap Go Meh, dengan nama resminya Goan Siau.
Perayaan dimulai di hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelima belas atau saat bulan purnama.
Adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan ini sangat beragam, mulai dari perjamuan makan malam hingga menyalakan kembang api pada malam tahun baru.
Klenteng Amurwa Bhumi
Bagi warga Tionghoa, Imlek dianggap sebagai hari libur besar yang memiliki pengaruh cukup besar. Tak terkecuali, di Kelenteng atau Vihara Amurwa Bhumi, Kecamatan Cibinong. Mereka tampak semangat dan teliti mengelap guci berbahan dasar kuningan.
“Pembersihan ruangan danbarang-barang yang ada tak boleh sembarangan,” ujar Wakil Ketua Vihara Amurwa Bhumi,Agi Widodo.
Tak hanya itu, tampak beberapa orang memanjat sambil membawa ember berisi air, sabun dan wewangian untuk membersihkan gerbang masuk dan keluar vihara. Masyarakat Tionghoa meyakini,jika membawa persembahan dalam jumlah banyak akan mendatangkan rezeki berlimpah.
Bahkan, setiap sajian yangwajib dihidangkan saat Imlek mempunyai perlambang masing-masing. Seperti mi yang melambangkan umur panjang.Sedangkan makanan dan buah yang manis akan mendatangkan kemakmuran dalam hidup mereka.
Bahkan, buah jeruk kuning yang melambangkan kemakmuran menjadi buruan masyarakat yang merayakan Imlek. Begitu pula dengan buah naga yang banyak membawa berkah.Lain halnya dengan cerita rakyat yang beredar di masyarakat Tionghoa.
Warna merah diartikan sebagai simbol untuk mengusir raksasa bernama Nian yang menyerang hasil panen rakyat. Pasalnya, Nian takut akan warna merah dan masyarakat berharap raksasa itu tak akan mengganggu.
Makna Imlek dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga besar. Perayaan diisi dengan makan bersama dan saling mengunjungi kerabat dekat maupun jauh. Beragam makanan dan kue-kue tersedia di meja tamu. Tak ketinggalan, angpao selalu dinantikan anakanak.
Namun, ada yang berbeda dengan Vihara Amurwa Bhumi Cibinong. Di dalam kompleks vihara terdapat sebuah masjid berukuran sekitar 75 meter persegi.
Menurut Widodo, masjid tersebut selalu dipergunakan seperti biasa. “Kita di sini hidup dengan damai karena selalu menjaga kerukunan,” pungkasnya.
Gelar Keroncong 1950
Sementara, Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Kota Bogor menggelar pagelaran musik keroncong pada malam perayaan tahun baru Imlek 2562.
Acara berlangsung dari Rabu (2/2/2011) malam mulai pukul 19.00 WIB hingga Kamis dini hari, bertempat di markas Persatuan Gerak Badan Bangaun Putih Janal Gardu Tinggi, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Puluhan warga Tionghua bersama-sama warga non-Tionghua setempat menggelar malam perayaan datangnya tahun Kelinci Emas tersebut.
Klenteng Dhanagun
Sebanyak 50 rupang atau patung dewa dibersihkan di Wihara Dhanagun Jalan Suryakancana Bogor, Sabtu (29/1). Pembersihan rupang itu merupakan salah satu bentuk tradisi etnis Tionghoa dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek 2562 yang jatuh pada Kamis (3/2) hari ini.
Pembersihan rupang-rupang dewa itu menggunakan air yang dicampur bunga-bunga. Selain rupang, warga juga membersihkan meja dan altar tempat meletakkan rupang dewa.
Ritual pembersihan dipimpinan langsung Ketua Pengurus Ritual Wihara Dhanagun, Frankie Sibbald. Pembersihan yang dimulai sekitar pukul 11:00 itu, diawali dengan sembahyang dengan bersujud ke semua rupang yang akan dibersihkan.
“Ini merupakan rangkaian tradisi menjelang Imlek yang kami lakukan setiap tahunnya. Sebelumnya, kita juga membersihkan abu bekas bakaran hio dan membersihkan seluruh ruangan wihara ini,” katanya di sela-sela prosesi pembersihan.
Makna pembersihan dan pencucian lokasi wihara dan rupang itu, terangnya, merupakan bentuk penyucian diri bagi warga keturunan Tionghoa. Sehingga pada saat Imlek nanti, wihara sudah bersih. “Ini juga dimaksudkan agar pada saat Imlek, kita terhindar dari hal-hal negatif,”tambahnya.
Di Wihara Dhanagun sendiri ada sekitar 50 rupang yang terdiri dari Dewa Bumi, Air, Api dan rupang Dewi Kwan In.
Rupang-rupang tersebut terbuat dari kayu, kuningan serta porselen. Setiap rupang memiliki penampilan masing-masing. Mulai dari rupang yang berwajah rupawan, cantik dengan senyumnya yang manis,hingga rupang dengan penampilan wajah angker dan galak.
Berusia Ratusan Tahun
Koleksi rupang di Wihara Dhanagun ada yang berusia hingga ratusan tahun. Wihara ini sendiri sudah ada sejak 1862. Frankie Sibbald menjelaskan, Wihara Dhanagun adalah Wihara Buddha Mahayana di bawah naungan Sang Agung Indonesia.
Tahun Baru Imlek itu adalah perayaan tahun baru kalender Cina dan secara tradisi dirayakan oleh orang Cina atau keturunan Tionghoa.
“Pada saat perayaan tahun baru itu, sebagaimana perayaan tahun baru lainnya,dilangsungkan secara meriah. Saat itu juga merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan sanak saudara serta teman dan tetangga,” tambahnya.
Namun untuk tahun ini, perayaan Imlek dan Cap Go Meh akan digelar sederhana disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang dirundung bencana alam.
Hal senada dikatakan pengurus Wihara Dhanagun, Susan. Untuk perayaan Cap Go Meh tahun ini tidak digelar meriah,seperti tahun-tahun sebelumnya. Arak-arakan yang biasa dilakukan setiap Cap Go Meh akan digelar di halaman Wihara Dhanagun.
“Untuk kali ini, kita tidak mengeluarkan rupang untuk diarak keluar wihara, tapi di halaman saja. Ini karena kita sedang prihatin dengan musibah bencana alam yang banyak menimpa masyarakat di daerah lain di Indonesia,” katanya.
Simbol Penyucian Diri Berdasarkan keyakinan umat Konghucu, penyucian ini dilakukan saat penghuni rupang sedang naik ke surga dan berharap dewa akan memberikan keberuntungan jika rupang tersebut disucikan.
Sepekan menjelang Imlek merupakan hari baik untuk memandikan rupang dewa suci. Sebab,pada saat itu rupang-rupang tersebut sedang kosong, karena semua penghuninya sedang menghadap Tuhan di surga.
Memandikan rupang dewa suci merupakan bagian dari tradisi menyambut Imlek. Perayaan Imlek sendiri berlangsung selama kurang lebih dua minggu, dimulai pada Selasa (2/2) , sampai Kamis (17/2). Puncaknya yakni Cap Go Meh.
Sejak pekan lalu, warga keturunan Tionghoa memadati Wihara Dhanagun di Jalan Suryakencana. Mereka berkumpul sejak pagi, membawa perlengkapan dan pernak-pernik ala Negeri Tirai Bambu.
Memasuki halaman vihara, mata disuguhi pemandangan lampu gantung (lampion), dengan nuansa merahyang mempesona. Melihat sekeliling,lilin-lilin ukuran raksasa,berjajar di samping tungku-tungku dupa yang setengah menyala. Sungguh seperti berada di Negeri Cina.
Warga bersama pengurus wiraha mengangkat rupang (patung) dewadewi dari singgasananya. Rupang itu dibersihkan menggunakan kuas untuk menghilangkan debudebu yang menempel.
Perlahan rupang dicelupkan ke dalam ember-ember berisi air,dan dikeringkan. Tak ketinggalan, meja altar serta lemari-lemari tempat penyimpanan rupang turut dibersihkan. “Memandikan dewadewi adalah tradisi menyambut Imlek,” ujar pengurus Wihara Dhanagun, Candra.
Ia menambahkan, filosofi memandikan rupang dewa-dewi yakni menyambut tahun yang baru dalam suasana dan ketenangan hati yang bersih. Ritual rutin dilaksanakan setiap menjelang Imlek.
Peserta ritual bukan hanya warga Bogor, tapi ada pula warga Jakarta dan luar daerah. Setelah rupang dan altar dibersihkan,warga berdoa dan mohon berkah kepada Dewa-Dewi. “Ritual ini perwujudan rasa syukur kami, serta sebuah doa agar di tahun depan kehidupan bisa lebih baik,” imbuhnya.
Sembari mengusap sebuah rupang menggunakan kain basah, Candra bercerita bahwa di Cina adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya memiliki tema umum seperti perjamuan makan malam serta penyulutan kembang api.
Warga Cina juga merayakan Imlek, layaknya warga Indonesia merayakan Lebaran. Mereka memiliki budaya mudik dan melewatkan waktu libur bersama keluarga besar. “Jutaan orang pergi ke Cina tiap perayaan Imlek.
Walaupun tidak ada tujuan atau kerabat yang dikunjungi, warga keturunan Tionghoa akan pulang ke tanah leluhur mereka. Sayangnya tahun ini saya belum bisa, mudahmudahan tahun depan,”pungkasnya. (als)
Perayaan dimulai di hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelima belas atau saat bulan purnama.
Adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan ini sangat beragam, mulai dari perjamuan makan malam hingga menyalakan kembang api pada malam tahun baru.
Klenteng Amurwa Bhumi
Bagi warga Tionghoa, Imlek dianggap sebagai hari libur besar yang memiliki pengaruh cukup besar. Tak terkecuali, di Kelenteng atau Vihara Amurwa Bhumi, Kecamatan Cibinong. Mereka tampak semangat dan teliti mengelap guci berbahan dasar kuningan.
“Pembersihan ruangan danbarang-barang yang ada tak boleh sembarangan,” ujar Wakil Ketua Vihara Amurwa Bhumi,Agi Widodo.
Tak hanya itu, tampak beberapa orang memanjat sambil membawa ember berisi air, sabun dan wewangian untuk membersihkan gerbang masuk dan keluar vihara. Masyarakat Tionghoa meyakini,jika membawa persembahan dalam jumlah banyak akan mendatangkan rezeki berlimpah.
Bahkan, setiap sajian yangwajib dihidangkan saat Imlek mempunyai perlambang masing-masing. Seperti mi yang melambangkan umur panjang.Sedangkan makanan dan buah yang manis akan mendatangkan kemakmuran dalam hidup mereka.
Bahkan, buah jeruk kuning yang melambangkan kemakmuran menjadi buruan masyarakat yang merayakan Imlek. Begitu pula dengan buah naga yang banyak membawa berkah.Lain halnya dengan cerita rakyat yang beredar di masyarakat Tionghoa.
Warna merah diartikan sebagai simbol untuk mengusir raksasa bernama Nian yang menyerang hasil panen rakyat. Pasalnya, Nian takut akan warna merah dan masyarakat berharap raksasa itu tak akan mengganggu.
Makna Imlek dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga besar. Perayaan diisi dengan makan bersama dan saling mengunjungi kerabat dekat maupun jauh. Beragam makanan dan kue-kue tersedia di meja tamu. Tak ketinggalan, angpao selalu dinantikan anakanak.
Namun, ada yang berbeda dengan Vihara Amurwa Bhumi Cibinong. Di dalam kompleks vihara terdapat sebuah masjid berukuran sekitar 75 meter persegi.
Menurut Widodo, masjid tersebut selalu dipergunakan seperti biasa. “Kita di sini hidup dengan damai karena selalu menjaga kerukunan,” pungkasnya.
Gelar Keroncong 1950
Sementara, Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Kota Bogor menggelar pagelaran musik keroncong pada malam perayaan tahun baru Imlek 2562.
Acara berlangsung dari Rabu (2/2/2011) malam mulai pukul 19.00 WIB hingga Kamis dini hari, bertempat di markas Persatuan Gerak Badan Bangaun Putih Janal Gardu Tinggi, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Puluhan warga Tionghua bersama-sama warga non-Tionghua setempat menggelar malam perayaan datangnya tahun Kelinci Emas tersebut.
Klenteng Dhanagun
Sebanyak 50 rupang atau patung dewa dibersihkan di Wihara Dhanagun Jalan Suryakancana Bogor, Sabtu (29/1). Pembersihan rupang itu merupakan salah satu bentuk tradisi etnis Tionghoa dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek 2562 yang jatuh pada Kamis (3/2) hari ini.
Pembersihan rupang-rupang dewa itu menggunakan air yang dicampur bunga-bunga. Selain rupang, warga juga membersihkan meja dan altar tempat meletakkan rupang dewa.
Ritual pembersihan dipimpinan langsung Ketua Pengurus Ritual Wihara Dhanagun, Frankie Sibbald. Pembersihan yang dimulai sekitar pukul 11:00 itu, diawali dengan sembahyang dengan bersujud ke semua rupang yang akan dibersihkan.
“Ini merupakan rangkaian tradisi menjelang Imlek yang kami lakukan setiap tahunnya. Sebelumnya, kita juga membersihkan abu bekas bakaran hio dan membersihkan seluruh ruangan wihara ini,” katanya di sela-sela prosesi pembersihan.
Makna pembersihan dan pencucian lokasi wihara dan rupang itu, terangnya, merupakan bentuk penyucian diri bagi warga keturunan Tionghoa. Sehingga pada saat Imlek nanti, wihara sudah bersih. “Ini juga dimaksudkan agar pada saat Imlek, kita terhindar dari hal-hal negatif,”tambahnya.
Di Wihara Dhanagun sendiri ada sekitar 50 rupang yang terdiri dari Dewa Bumi, Air, Api dan rupang Dewi Kwan In.
Rupang-rupang tersebut terbuat dari kayu, kuningan serta porselen. Setiap rupang memiliki penampilan masing-masing. Mulai dari rupang yang berwajah rupawan, cantik dengan senyumnya yang manis,hingga rupang dengan penampilan wajah angker dan galak.
Berusia Ratusan Tahun
Koleksi rupang di Wihara Dhanagun ada yang berusia hingga ratusan tahun. Wihara ini sendiri sudah ada sejak 1862. Frankie Sibbald menjelaskan, Wihara Dhanagun adalah Wihara Buddha Mahayana di bawah naungan Sang Agung Indonesia.
Tahun Baru Imlek itu adalah perayaan tahun baru kalender Cina dan secara tradisi dirayakan oleh orang Cina atau keturunan Tionghoa.
“Pada saat perayaan tahun baru itu, sebagaimana perayaan tahun baru lainnya,dilangsungkan secara meriah. Saat itu juga merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan sanak saudara serta teman dan tetangga,” tambahnya.
Namun untuk tahun ini, perayaan Imlek dan Cap Go Meh akan digelar sederhana disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang dirundung bencana alam.
Hal senada dikatakan pengurus Wihara Dhanagun, Susan. Untuk perayaan Cap Go Meh tahun ini tidak digelar meriah,seperti tahun-tahun sebelumnya. Arak-arakan yang biasa dilakukan setiap Cap Go Meh akan digelar di halaman Wihara Dhanagun.
“Untuk kali ini, kita tidak mengeluarkan rupang untuk diarak keluar wihara, tapi di halaman saja. Ini karena kita sedang prihatin dengan musibah bencana alam yang banyak menimpa masyarakat di daerah lain di Indonesia,” katanya.
Simbol Penyucian Diri Berdasarkan keyakinan umat Konghucu, penyucian ini dilakukan saat penghuni rupang sedang naik ke surga dan berharap dewa akan memberikan keberuntungan jika rupang tersebut disucikan.
Sepekan menjelang Imlek merupakan hari baik untuk memandikan rupang dewa suci. Sebab,pada saat itu rupang-rupang tersebut sedang kosong, karena semua penghuninya sedang menghadap Tuhan di surga.
Memandikan rupang dewa suci merupakan bagian dari tradisi menyambut Imlek. Perayaan Imlek sendiri berlangsung selama kurang lebih dua minggu, dimulai pada Selasa (2/2) , sampai Kamis (17/2). Puncaknya yakni Cap Go Meh.
Sejak pekan lalu, warga keturunan Tionghoa memadati Wihara Dhanagun di Jalan Suryakencana. Mereka berkumpul sejak pagi, membawa perlengkapan dan pernak-pernik ala Negeri Tirai Bambu.
Memasuki halaman vihara, mata disuguhi pemandangan lampu gantung (lampion), dengan nuansa merahyang mempesona. Melihat sekeliling,lilin-lilin ukuran raksasa,berjajar di samping tungku-tungku dupa yang setengah menyala. Sungguh seperti berada di Negeri Cina.
Warga bersama pengurus wiraha mengangkat rupang (patung) dewadewi dari singgasananya. Rupang itu dibersihkan menggunakan kuas untuk menghilangkan debudebu yang menempel.
Perlahan rupang dicelupkan ke dalam ember-ember berisi air,dan dikeringkan. Tak ketinggalan, meja altar serta lemari-lemari tempat penyimpanan rupang turut dibersihkan. “Memandikan dewadewi adalah tradisi menyambut Imlek,” ujar pengurus Wihara Dhanagun, Candra.
Ia menambahkan, filosofi memandikan rupang dewa-dewi yakni menyambut tahun yang baru dalam suasana dan ketenangan hati yang bersih. Ritual rutin dilaksanakan setiap menjelang Imlek.
Peserta ritual bukan hanya warga Bogor, tapi ada pula warga Jakarta dan luar daerah. Setelah rupang dan altar dibersihkan,warga berdoa dan mohon berkah kepada Dewa-Dewi. “Ritual ini perwujudan rasa syukur kami, serta sebuah doa agar di tahun depan kehidupan bisa lebih baik,” imbuhnya.
Sembari mengusap sebuah rupang menggunakan kain basah, Candra bercerita bahwa di Cina adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya memiliki tema umum seperti perjamuan makan malam serta penyulutan kembang api.
Warga Cina juga merayakan Imlek, layaknya warga Indonesia merayakan Lebaran. Mereka memiliki budaya mudik dan melewatkan waktu libur bersama keluarga besar. “Jutaan orang pergi ke Cina tiap perayaan Imlek.
Walaupun tidak ada tujuan atau kerabat yang dikunjungi, warga keturunan Tionghoa akan pulang ke tanah leluhur mereka. Sayangnya tahun ini saya belum bisa, mudahmudahan tahun depan,”pungkasnya. (als)
Tidak ada komentar