Wahyu Kujang, Sang Guru Teupa
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjemZnFfhHKunzPZ9h1qvNY2U3trAJae01AaZGzguuybWxUHxtvroCXhvgP1EwsXrYWIjP4FfJVbw0DQ2n0F8Fr0KJunL6y0vbnLJOwfrpoz65stSWOr5-QYhvmUj5vj0v_QYL3xgal1nFB/s200/pak+wahyu.jpg)
Pria kelahiran Bandung, 3 Agustus 1953 ini berprofesi sebagai guru honor mata pelajaran Bahasa Sunda dan Seni Rupa di salah-satu SMK Swasta mulai menyukai senjata Kujang sejak menemukannya tertancap di atas batu tepi sungai pesisir Sukawayana, Cisolok Pelabuhan Ratu, pada Desember 1993 silam.
Dirinya mulai mencoba mengoleksi dan membuatnya sendiri senjata khas sunda tersebut sejak 1995, bahkan mencari dan mendatangi para pemilik dan penyimpan Kujang kuno di kawasan Sukabumi, Banten, Bogor, serta museum-museum Sribaduga, Siliwangi, Gesen Ulun, maupun Karaton Kasepuhan.
Tak kenal lelah mencari informasi dari Kang Anis Jatisunda yang masih menyimpan dan mengusai Pantun Bogor sebagai acuan sejarah Sunda Pajajaran. Sehingga ia mulai menekuni keahlian teupa berbagai macam bentuk dan jenis Kujang sesuai yang pernah ditemukan dan tertulis dalam naskah Kang Anis, tentang Kujang.
Menurutnya ada dua macam proses dalam pembuatan Kujang, yakni Kujang bahan besi sejenis dengan pamor yang dilukis secara teknik proses kimia, dan Kujang bahan logam besi/baja campur dengan pamor muncul dari perbedaan logam campuran.
Karya Wahyu Kujang
Jenis dan bentuk kujang yang dibuatnya berupa Kujang dengan bahan logam kuno, pamor dan hiasan waruga ada modifikasi sesuai kemampuan teknik saat ini, setiap mata diisi logam kuningan atau logam emas atau batu mulia.
Sedangkan pembuatan pamor pada bahan besi/baja sejenis menggunakan teknik etching, dimulai dengan melukis lalu merendamnya dengan bahan kimia, pembuatan pamor pada bahan/baja campuran menggunakan pelapisan atau susunan besi/baja campuran dengan logamlainnya.
Semuanya itu dimulai dengan menyusun/melapisi kemudian membakar dan menempanya berulang-ulang dengan tingkat pemanasan yang cukup tinggi.Menurutnya, fungsi kujang pada saat ini dijadikan koleksi pribadi, hiiasan ruangan rumah/kantor, cenderamata, tanda identitas Sunda, dan ada pula untuk pusaka.
Sementara khusus Kujang Pamangkas masih digunakan oleh komunitas masyarakat Pancer Pangawinan dan masyarakat Kanekes (Baduy).
Wahyu menambahkan, Kujang umumnya berbentuk Sulangkar, yaitu berupa garis-garis meliuk biasa disebut Rambut Sadana, dan Tutul, yaitu berupa bintik-bintik atau bulatan-bulatan kecil yang bertebaran.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKc69v4gdDjiMauM0MSWb4d8M9S1ZTfPLXJ_pC25vDm88Nm_I57unmKCm-Uh_wmVawqzcAweaasMDwWO4dJU0zvHq3fNUcJ6eJkdz54uY5nxVpgdXwUPVRKcpEmgm8hyTl_cIweONiDIie/s200/4b963bd96bf7b.gif)
Tidak ada komentar