header_ads

Mengenang Detik Pengunduran Diri HM Soeharto


SALAM REFORMASI - Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis Finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya pada Maret 1998. 

Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.

Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.

Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.

Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa.

Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.



Tragedi Trisakti
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998,  seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material.

Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.

Mulai pagi, secara bergelombang, berdatangan ribuan massa mahasiswa dari kampus-kampus yang para ketuanya telah terlebih dahulu bermalam di gedung DPR/MPR RI di hari sebelumnya. Sampai saat itu, sebagai koordinator lapangan yang ditunjuk, Heru Cokro bertugas untuk mengkoordinir seluruh massa yang hadir dari masing-masing kampus agar sesuai arahan kolektif dari kontingen FKSMJ dan koordinator aksi (Henri Basel).

Tapi dalam prosesnya, ternyata banyak massa mahasiswa yang berdatangan bukan merupakan konstituen dari FKSMJ. Massa ini juga menolak beraksi di bawah bendera dan arahan kolektif FKSMJ, yang akhirnya berujung pada kecurigaan antar kelompok massa, kekacauan koordinasi dan praktis tidak adanya kerjasama aksi antara satu kelompok dengan kelompok massa lainnya di lapangan.

Kekacauan pun bertambah parah bersamaan dengan kedatangan massa dari Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto dan Yorrys Raweyai, yang diasumsikan akan menolak usaha penuntutan pengunduran diri Soeharto. Tidak adanya koordinasi di antara kelompok massa mahasiswa dan besarnya kecurigaan antar kelompok, nyaris saja mengakibatkan bentrokan tidak perlu di antara kedua kelompok massa tersebut.

Dalam usaha menghindari konflik, Heru berhasil menemui Yapto dan kemudian melakukan rapat darurat dengan koordinator lapangan massa PP, yang akhirnya menyepakati garis batas massa kelompok PP serta sebuah komitmen untuk menghindari bentrokan. Massa PP tetap pada garis batas yang ditentukan sampai kepulangan mereka.

Kekacauan luar biasa yang terjadi di lapangan coba dikelola dengan rapat koordinasi lapangan secara rally (semua koordinator massa yang teridentifikasi harus hadir setiap 1 jam di tempat yang ditentukan), sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan penyusunan mekanisme aksi yang unik dimana seluruh kelompok massa (FKSMJ ataupun non FKSMJ) dikelola dalam struktur operasi aksi tanpa berafiliasi pada kelompok tertentu, dimana struktur ini kemudian menunjuk Heru Cokro sebagai Koordinator Jenderal. Di lain sisi, arahan dan kebijakan kolektif para ketua lembaga di FKSMJ tetap akan diakomodasi lewat Heru, tapi tetap dengan persetujuan anggota struktur operasi aksi yang baru (yang berasal dari koordinator-koordinator aksi dari masing-masing kelompok massa).

Menjelang Maghrib, setelah struktur aksi yang baru berhasil mengontrol instalasi Car Call (satu-satunya alat komunikasi yang mampu mencapai semua orang di gedung DPR/MPR RI) yang sebelumnya dikuasai bergantian oleh kelompok-kelompok massa yang ada, Heru berhasil memimpin massa dari semua kelompok massa untuk bersama-sama melakukan Yell Reformasi, dimana untuk pertama kalinya seluruh kelompok massa akhirnya terikat dalam sebuah aksi secara bersama-sama, yang berlanjut sampai akhir aksi.

Malam harinya, dalam rapat koordinasi struktur, terdengar kabar bahwa besok akan ada demonstrasi akbar di Lapangan Monas yang dipimpin oleh AMIEN RAIS.

Rapat pun memanas dengan desakan agar seluruh massa segera menggabungkan diri dengan demonstrasi tersebut. Tapi perdebatan pun berhasil diakhiri dengan komitmen untuk tetap di gedung DPR/MPR RI dengan argumen bila terjadi apa-apa dengan rencana demonstrasi yang relatif riskan tersebut, akumulasi massa di gedung DPR/MPR RI bisa menjadi pertahanan terakhir dalam menjaga momentum reformasi ini. Rapat koordinasi ini pun berhasil menyepakati mekanisme dan kontribusi masing-masing kelompok massa dalam langkah pengamanan aksi dan prosedur pengungsian massa bila terjadi penyerbuan.

Rapat pun menyepakati sebuah langkah keras untuk melakukan prosesi sidang rakyat yang diformat seolah-olah sebagai parlemen alternatif, dengan menggunakan ruang sidang paripurna DPR/MPR RI sebagai tempat sidang.

Mulanya, ruang sidang paripurna diusulkan untuk didobrak tanpa persetujuan sekretariat atau pimpinan DPR/MPR RI. Tapi kemudian, dengan niat menghindarkan aksi dari citra anarkis, rapat koordinasi menyepakati bahwa usaha penggunaan ruang sidang paripurna akan dimulai dengan koordinasi damai antara koordinator jenderal dengan sekretariat DPR/MPR RI. Dan bila ditolak, baru kemudian dilakukan usaha pendobrakan secara paksa terhadap ruang sidang.

Bagaimanapun, malam tanggal 19 Mei 1998 berakhir tenang, walau sempat terjadi sedikit kekacauan ketika mendadak ada teriakan penyerbuan (menandakan tentara menyerbu) yang sempat menggegerkan seluruh massa yang ada di gedung DPR/MPR RI (massa sempat berlari tunggang-langgang kesana kemari), sebelum akhirnya ditenangkan dengan penjelasan bahwa teriakan tersebut merupakan informasi yang salah.

Sebagaimana amanat rapat di malam sebelumnya, Heru bersama Ahmad (salah satu tim aksi) pun menemui personel sekretariat DPR/MPR RI. Tidak berani memutuskan untuk memberi izin penggunaan ruang sidang paripurna, personel sekretariat ini pun mengantarkan Heru dan tim untuk menemui Syarwan Hamid , Wakil Ketua DPR/MPR RI saat itu. Ketika mendengar rencana prosesi itu, Syarwan Hamid hanya berkomentar bahwa sebaiknya prosesi itu ditunda karena hari itu, Soeharto akan segera mengumumkan pengunduran dirinya.

Kaget mendengar berita tersebut, akhirnya diputuskan bahwa untuk sementara waktu prosesi ditunda sambil menunggu kebenaran informasi tersebut.

Pada tanggal 20 Mei tersebut, aksi berjalan marak. Banyak tokoh nasional yang hadir di gedung DPR/MPR RI dan bergiliran memberikan orasi ke massa. Kesemarakan ini pun makin besar, apalagi setelah dipastikan, demonstrasi di lapangan Monas dibatalkan.

Di saat yang sama, koordinasi kembali kacau. Sebagai contoh, sekelompok mahasiswa tanpa koordinasi merobek-robek kertas (disinyalemen kertas tersebut arsip sekretariat DPR/MPR RI) dan melemparkannya ke arah massa. Sementara, di lain sisi, ratusan mahasiswa mulai duduk-duduk dan berdiri di atas kubah gedung paripurna DPR/MPR RI. Beberapa wartawan sempat memperingatkan stuktur kubah yang rapuh, dan rapat koordinasi pun sebetulnya sempat memutuskan untuk melarang mahasiswa menaiki kubah tersebut. Tapi, setelah mencoba memperingatkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di atas kubah tanpa hasil, akhirnya diputuskan membiarkan penggunaan kubah dengan menunjuk penanggung jawab yang menjaga kemungkinan terburuk. Puncak kekacauan, adalah perebutan diri koordinator jenderal di antara kelompok-kelompok massa yang hadir kemudian.

Di lain sisi, sampai sore tetap tidak ada tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Akibatnya, rapat koordinasi mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima oleh Heru,  apalagi untuk alasan itu rencana prosesi sidang rakyat ditunda. Akhirnya diputuskan untuk menunggu sampai besok, bila belum ada tanda-tanda pengunduran diri Soeharto, maka prosesi sidang rakyat dan penggunaan ruang sidang paripurna akan dilaksanakan, dengan cara damai atau paksa.

Malam harinya, suasana kembali tenang. Selain sempat diidentifikasi sekelompok prajurit nontentara jaga DPR/MPR RI mengendap-endap dan seorang perwira di kawal 2 prajurit membangunkan para tentara jaga (termasuk komandan pengamanan gedung DPR/MPR RI yang tampak tergopoh-gopoh segera melapor pada perwira ini), pada umumnya malam bisa berjalan tenang.

Pagi itu, kelihatannya beberapa kelompok massa ada yang sudah pulang, sehingga massa di gedung DPR/MPR RI relatif lebih sedikit. Penanggung jawab yang ditunjuk untuk mempersiapkan prosesi sidang rakyat tampak mulai mengumpulkan orang untuk persiapan, sebelum kemudian beberapa wartawan tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa akan ada pengumuman penting dari istana negara.


Dampak Krisis Berkepanjangan

Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).


Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.

Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.

Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.

Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.

Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).

Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep Dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.


Dugaan Korupsi

Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu.

Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto.

Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri. (alsabili) berbagai sumber int*

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.