Kota Bogor Kawasan Tanpa Asap Rokok
Peneliti Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI memberikan acungan jempol kepada Pemerintah Kota Bogor beserta DPRD Kota Bogor yang telah berhasil menelorkan Peraturan Daerah perihal Kawasan tanpa Rokok.
Perda No. 12 Tahun 2009 ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Kota Bogor dalam upaya perlindungan masyarakat terhadap risiko gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.
Demikian dikatakan DR. Rohani Budi Prihatin, M.Si, peneliti P3DI dalam ekspose KTR di Ruang Rapat III Balaikota Bogor, Selasa (13/9/2011). Dalam ekspose yang dirangkaikan dengan Briefing staf ini dihadiri oleh Walikota Bogor Diani Budiarto beserta pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
“Kita salut dengan Kota Bogor dengan Perda KTR nya. Yang kedua, kita juga perlu berbangga hati atas prestasi yang dicapai Kota Bogor. Kita perlu apresiasi dengan prestasi yang sudah dicapai dari hasil monitoring,” kata Rohani.
Meski demikian, Rohani mengakui bahwa perda yang mengatur tentang budaya merokok ini merupakan perda yang sulit diterapkan. Rohani memperkirakan diperlukan waktu sekitar delapan tahun untuk menegakkan perda larangan merokok di sembarang tempat tersebut.
“Intinya kebijakan KTR merubah budaya. Ini sangat susah. Bila kita bandingkan pada tahun 2009 ada perda KTR, dan dua tahun sesudah perda dilaksanakan evaluasi dan monitoring ketaatan mencapai 60%. Ini sangat bagus menurut saya,” lanjut Rohani.
Rohani mencontohkan bahwa Perda KTR sejajar dengan perda larangan meludah dan pipis sembarangan. Menurutnya orang boleh pipis dan meludah, tetapi tidak boleh sembarangan. “Makanya saya bilang bahwa perda KTR ini merubah budaya, sangat susah. Butuh waktu. Lama tidaknya tergantung komitmen setiap daerah,” tambahnya.
Rohani pun membandingkan perda KTR dengan kebijakan tentang helm. Aturan memakai helm sudah lahir pada tahun 1992. Setelah 20 tahun, keharusan menggunakan helm bagi pengendara motor sudah sangat bagus.
Hampir semua orang sadar orang memakai helm itu bukan untuk kebutuhan negara atau polisi tetapi kebutuhan pribadi. “Mudah-mudahan orang sadar manfaatnya perda KTR. Mudah-mudahan dalam kurun waktu delapan sampai sepuluh tahun orang sadar,” harapnya.
Ke depan, Rohani jamin, Kota Bogor adalah Kota yang paling maju dalam penerapan KTR. Rohani membandingkan penerapan Perda KTR dengan daerah lainnya, seperti Palembang, Pontianak dan Bali. Dibanding ketiga tempat tersebut, Kota Bogor jauh lebih maju.
“Jadi nanti semua daerah akan merujuk ke Kota Bogor sebagai Kota studi banding. Yang paling bagus adalah Kota Bogor makanya saya jadikan rujukan daerah lain,” ujarnya.
Untuk itu, Rohani menegaskan agar para pimpinan SKPD se-Kota Bogor harus bangga dengan penerapan KTR yang sudah berlangsung di Kota Bogor. Kota Bogor dianggapnya sudah menjadi pioneer dalam penerapan KTR di Indonesia.
“Apa yang dilakukan di Kota Bogor on the right track. Saya salut dan bangga dengan kota Bogor. Ke depan, saya yakin 8 tahun ke depan Kota Bogor akan menjadi kota percontohan. Kota Bogor maju terus, saya yakin kota Bogor bisa menjadi contoh di Indonesia dan di Internasional,” ujarnya optimistis. (dian/chris)
Sumber: Kota Bogor 13/9/2011
Demikian dikatakan DR. Rohani Budi Prihatin, M.Si, peneliti P3DI dalam ekspose KTR di Ruang Rapat III Balaikota Bogor, Selasa (13/9/2011). Dalam ekspose yang dirangkaikan dengan Briefing staf ini dihadiri oleh Walikota Bogor Diani Budiarto beserta pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
“Kita salut dengan Kota Bogor dengan Perda KTR nya. Yang kedua, kita juga perlu berbangga hati atas prestasi yang dicapai Kota Bogor. Kita perlu apresiasi dengan prestasi yang sudah dicapai dari hasil monitoring,” kata Rohani.
Meski demikian, Rohani mengakui bahwa perda yang mengatur tentang budaya merokok ini merupakan perda yang sulit diterapkan. Rohani memperkirakan diperlukan waktu sekitar delapan tahun untuk menegakkan perda larangan merokok di sembarang tempat tersebut.
“Intinya kebijakan KTR merubah budaya. Ini sangat susah. Bila kita bandingkan pada tahun 2009 ada perda KTR, dan dua tahun sesudah perda dilaksanakan evaluasi dan monitoring ketaatan mencapai 60%. Ini sangat bagus menurut saya,” lanjut Rohani.
Rohani mencontohkan bahwa Perda KTR sejajar dengan perda larangan meludah dan pipis sembarangan. Menurutnya orang boleh pipis dan meludah, tetapi tidak boleh sembarangan. “Makanya saya bilang bahwa perda KTR ini merubah budaya, sangat susah. Butuh waktu. Lama tidaknya tergantung komitmen setiap daerah,” tambahnya.
Rohani pun membandingkan perda KTR dengan kebijakan tentang helm. Aturan memakai helm sudah lahir pada tahun 1992. Setelah 20 tahun, keharusan menggunakan helm bagi pengendara motor sudah sangat bagus.
Hampir semua orang sadar orang memakai helm itu bukan untuk kebutuhan negara atau polisi tetapi kebutuhan pribadi. “Mudah-mudahan orang sadar manfaatnya perda KTR. Mudah-mudahan dalam kurun waktu delapan sampai sepuluh tahun orang sadar,” harapnya.
Ke depan, Rohani jamin, Kota Bogor adalah Kota yang paling maju dalam penerapan KTR. Rohani membandingkan penerapan Perda KTR dengan daerah lainnya, seperti Palembang, Pontianak dan Bali. Dibanding ketiga tempat tersebut, Kota Bogor jauh lebih maju.
“Jadi nanti semua daerah akan merujuk ke Kota Bogor sebagai Kota studi banding. Yang paling bagus adalah Kota Bogor makanya saya jadikan rujukan daerah lain,” ujarnya.
Untuk itu, Rohani menegaskan agar para pimpinan SKPD se-Kota Bogor harus bangga dengan penerapan KTR yang sudah berlangsung di Kota Bogor. Kota Bogor dianggapnya sudah menjadi pioneer dalam penerapan KTR di Indonesia.
“Apa yang dilakukan di Kota Bogor on the right track. Saya salut dan bangga dengan kota Bogor. Ke depan, saya yakin 8 tahun ke depan Kota Bogor akan menjadi kota percontohan. Kota Bogor maju terus, saya yakin kota Bogor bisa menjadi contoh di Indonesia dan di Internasional,” ujarnya optimistis. (dian/chris)
Sumber: Kota Bogor 13/9/2011
Tidak ada komentar