Stasiun Kereta Api Bogor Canangkan Penggunaan Totopong
KOTA BOGOR - Menyongsong Hari Jadi Bogor (HJB) ke
530, Stasiun Besar Kereta Api Bogor mencanangkan penggunaan totopong
(iket kepala) bagi para masinis, dan para pegawai KAI (Kereta Api
Indonesia) lainnya yang bertugas di Stasiun Bogor.
Totopong atau iket kepala dengan kain batik tersebut langsung diikatkan ke Kepala masinis oleh salah satu budayawan dan seniman Bogor Dadang HP. Secara serempak diikuti oleh puluhan karyawan PT KAI yang bertugas di Stasiun besar Kereta Api Bogor.
“Ada sekitar 50 karyawan PT KAI yang bertugas di Stasiun besar Kereta Api Bogor menggunakan totopong hari ini (Rabu-red) “ kata Kepala Stasiun besar Kereta Api Bogor Eman Sulaeman.
Eman menyebutkan, pengunaan totopong untuk menyambut HJB ke 530 yang akan diperingati pada tanggal 3 Juni mendatang. “Kita mengawalinya pertama menggunakan totopong untuk menyambut HJB, “kata Eman.
Ia mengatakan, pihaknya sengaja mengintruksikan kepada semua Karyawan walaupun karyawan Stasiun beragam suku bangsa. “ Walaupun karyawan disini tidak semua suku sunda, tapi kami ingin HJB dirasakan oleh semua masyarakat yang ada di Bogor, “ ungkapnya.
Sementara itu, Dadang HP menuturkan, fungsi totopong sebagai simbol identitas diri dilihat dari ragam pola mengikatnya. Bentuk ikatan totopong menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat. “ Cara mengikat totopong antara bangsawan dan rakyat berbeda,”ungkapnya.
Ia menjelaskan, hingga kini terdapat dua puluh dua ragam cara mengikat totopong dikepala, kendati tampak rumit namun secara filosofis terdapat makna dibalik itu semua. “Penggunaan totopong di atas kepala bermakna sebagai upaya seseorang mengikat hal-hal baik dalam dirinya. Dalam budaya Sunda, dari semua anggota tubuh yang ada, kepala merupakan bagian terpenting. Tak ayal, kepala kerap diidentikan dengan kemuliaan yang difitrahkan,”ujarnya.
Kaitannya dengan HJB, Dadang mengakui, bahwa setiap memperingati HJB kurang dirasakan masyarakat Bogor, dan hanya sebatas diperingati dilingkungan Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor. “Mungkin salah satu penyebabnya kegiatan HJB tidak mempunyai tanda/ciri khusus bahwa masyarakat Bogor sedang memperingati hari jadinya, “ papar Dadang.
Diakuinya, memang setiap peringatan HJB dalam sidang paripurna khusus sudah rutin mengenakan pakaian adat sunda, Tapi itu sebatas dilingkungan pejabat dan anggota DPRD, dan belum menyentuh lebih luas lagi termasuk masyarakat.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya mencoba dalam HJB kali ini harus berbeda dengan tahun- tahun sebelumnya. “Kami telah mengusulkan kepada Panitia HJB ke 530 agar penggunaan pakaian adat sunda diperluas lagi. “Kita mengusulkan seminggu sebelum HJB bisa mengenakan pakaian adat sunda minimal mengenakan totopong, “ imbuhnya. (chris)
Tidak ada komentar