header_ads

Aliran Sesat Berlarut Akibat Pengawasan Lemah


CIBINONG - Menanggapi persoalan fenomena aliran sesat, Ketua Komunitas Intelejen Daerah Karyawan Faturachman berpendapat hal tersebut akibat lemahnya pengawasan.

Menurutnya dalam hal ini ulama harus berani masuk ke dalam dan mengingatkan kepada orang-orang yang nyeleneh tersebut.

Hal ini dikatakannya saat temu wicara dengan para wartawan di ruang kerjanya, Cibinong, Kabupaten Bogor (28/8.2012). “Ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) kan sudah ada sampai ke tingkat desa. Kita harapkan bisa  masuk ke dalam sekelompok orang tersebut untuk mencari tau apa yang salah dan diluruskan, jangan dihadapi sebagai lawan. Pengawasan harus senantiasa kita lakukan mencegah hal-hal nyeleneh yang akhirnya berbuntut aliran sesat”, ujarnya.

Ia menambahkan permasalah di Dramaga ada sekelompok orang yg mencoba mengenali budaya tapi pada batasan umum artinya hanya pada kulitnya saja. Di Sunda sejak Abad 10 sudah ada yang namanya Siksa Kandang Sarasian sebagai buku pedoman hidup dan diamankan di perpustakaan nasional dan ini bisa digali siapapun secara ilmiah. Namun perlu dipisahkan itu adalah wilayah budaya bukan wilayah keimanan. Ketika orang mempelajari ini harus bisa memilah mana yang budaya dan mana soal keimanan.

“Hubungannya dengan sekelompok orang di Dramaga ini, mencoba mengenali budaya tapi cara pandangnya dangkal. Maka jika ia berbicara bukanlah soal sesat tapi mereka tidak tahu, maka orang-orang ini perlu diluruskan. Jadi dalam pendekatan keimanan jelas mereka salah dan jelas tidak ada sahadat yang lain. Manusia memang selalu mencoba mencari hal-hal baru tapi jadinya nyeleneh artinya mereka keluar rukun agama, maka jangan mewaspadai orang lain, waspadailah kita sendiri”, jelas dia.

Sementara yang di Cisarua perlu diketahui tidak ada orang yang mengaku imam mahdi. Saya sudah masuk ke sana, Pa Agus itu tidak mengajarkan apapun dan tidak ada yang ia lakukan diluar rukun keislaman. Jadi ia hanya dianggap saja sementara orangnya saja jadi bingung ia menjadi pembicaraan di media.

“Fenomena ini terjadi dalam skala nasional, tentunya yang berhak dalam hal ini adah MUI. Yang lain yang tidak ahli tidak perlu bicara. Ilmu itu tidak ada ujungnya, ilmu bagaikan lautan dan kita hanya seekor capung yang menghisap sedikit airnya”, katanya. (rido/ice)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.